Sosok Kyai Maksum dan Pondok Al Islah Bondowoso

2 min read

Sosok Kyai Maksum dan Pondok Al Islah Bondowoso
Sosok Kyai Maksum dan Pondok Al Islah Bondowoso
K.H. Muhammad Maksum Bondowoso (sumber gambar https://www.picbear.one)

“Anda berjuang mati, Anda gak berjuang pun mati,

Anda kaya mati, miskin pun mati,

Anda diem tidur di rumah mati, Anda jihad bela Islam, mati,

Daripada Anda mati di atas kasur, lebih baik mati di medan tempur !!”

(kutipan K.H Muhammad Maksum, sumber youtube)

Berita meninggalnya K.H Muhammad Maksum seakan membawa duka mendalam bagi orang-orang yang telah mengenalnya. Betapa tidak, sosok pimpinan pondok yang selalu bersemangat dalam setiap kesemmpatan ini telah banyak menginspirasi banyak orang. Bukan hanya keluarga dan santri tapi semua orang yang telah mengenalnya. Ia lah pemantik semangat bagi orang-orang sekitar yang mungkin telah kendur untuk berbuat kebaikan dalam hidup ini.

Saya bukan santri Al Islah Bondowoso, tapi saya mengenal beliau sebagai kakak kelas saya, lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1960. Selanjutnya beliau banyak dikenal sebagai pimpinan pondok dan pengusaha dengan mempunyai banyak relasi di dalam dan luar negeri. Sebagai pimpinan beliau termasuk gigih dalam memperjuangkan kemajuan pondok yang diasuhnya. Al Islah dahulu bukan apa-apa. Terletak di daerah Dadapan, Bondowoso, pondok ini termasuk cepat dalam perkembangannya.

Pada awalnya pondok ini hanya menrima santri dari anak yang tidak mampu, selanjutnya dengan meningkatnya kualitas pondok, banyak juga santri yang datang dari kalangan mampu secara ekonomi yang ingin menimba ilmu di pondok yang pada awal tahun 2000 an menjadi pondok pesantren modern terbesar se daerah Tapal Kuda. Saya pun hanya beberapa kali mengunjungi Pondok Al Islah untuk beberapa acara, dan sekali bertemu dengan beliau.

Tapi sebagaimana banyak pengasuh pondok, beliau juga bukanlah type orang yang suka menceritakan apa yang telah diperbuatnya untuk mencerdaskan kader-kader pemimpin umat ini. Karena itu saat kesempatan saya bertemu hanya membicarakan tentang rencana berdirinya Ikatan Alumni Pondok Modern (IKPM) Bondowoso tahun 2009, yang diinisiasi oleh beberapa alumni senior dan baru di Bondowoso. Kami bercanda ala alumni biasanya yang menceritakan cerita-cerita di pondok yang tidak ada habisnya. Tentunya beliau juga memberi wejangan sebagai kakak alumni kepada kami yang saat itu datang bertiga ke pondoknya.

Tapi entah mengapa, rasa penasaran saya sangat mengganggu, hingga akhirnya saya sempatkan bertanya tentang sumber dana Pondok Al Islah kepada salah seorang pengajar yang saat itu sudah mempunyai santri sekitar 700 an orang. Dan apa jawabannya?

“Pondok ini besar melalui jalan kyai. Jumlah santri kami 700 an orang. Tapi yang mampu membayar jumlahnya sangat sedikit. Jika harus membayar secara normal, iuran pendidikan setiap santri adalah 300 ribu rupiah. Tapi kenyataannya? …. jumlah uang masuk dari semua santri dibagi jumlah santri hanya sekitar 30 ribu atau 1/ 10 nya.”

Lalu dari mana untuk menutupi sisanya yang sangat banyak (sekitar 270 ribu per santri) ?

“Pak Yai yang mendapatkannya, baik dari donatur atau dari bisnisnya.”

Subhanallah… saya langsung terdiam tidak bisa berkata-kata. Sungguh mulia apa yang dilakukan beliau, berani berusaha keras memperjuangkan kelangsungan hidup dan pendidikan 700 orang santrinya. Mungkin ini tidak masuk akal bagi sebagian orang yang untuk menghidupi diri dan keuarganya saja ia banyak mengeluh. Tapi Kyai Maksum memberikan contoh nyata bagi orang-orang terdekatnya bahwa manusia dan niat mulianya akan selalu mendapat pertolongan dari Allah.

Sekitar tahun 2010 saya pernah menghadiri sebuah acara bantuan operasi mata katarak bagi warga sekitar pondok yang dilakukan atas kerjasama Pondok Al Islah dan Yayasan Dharmais, saat itu kesehatan beliau sedang terganggu. Jika tidak salah informasi, saat itu beliau baru menjalani operasi pengangkatan ginjal. Tapi demi acara yang digelar dihadiri santri, alumni dan masyarakat sekitar yang ingin bertemu langsung dengannya, beliau memaksakan diri untuk hadir di acara itu.

Semangat sang kyai untuk berjuangan memang tak pernah luntur. Kita bisa melihat di media sosial bagaimana beliau ikut berdakwah bersama ulama dan tokoh agama lainnya, bahkan meskipun pada suatu waktu harus memakai selang infus dan tabung oksigen untuk pernafasannya. Dengan tetap tegar beliau menyampaikan apa yang sedang dialaminya,

“Tadi saya disebut sakit tapi tetap hadir di tempat ini,

Saya tidak sakit ! yang bilang sakit itu hanya dokter. Kata orang Bondowoso;

Kereta api dinamakan sepur. Di atas sepur ada kondektur,

Daripada mati sakit di atas kasur, lebih baik mati di medan tempur !!”

(kutipan K.H Muhammad Maksum, sumber youtube)

Selamat jalan Pak Yai, apa yang telah antum lakukan sangat sangat menginspirasi kami. Semoga apa yang antum contohkan selama ini menjadi contoh bagi generasi Islam selanjutnya untuk tetap teguh memperjuangkan Islam. Amiin.