Pentingnya Sebuah Buku Diari di Gontor

1 min read

Diari Siswa Akhir PM Gontor Tahun 2004

Saat di akhir proses belajar di Gontor, setiap santri mendapatkan diari satu angkatan (marhalah) yang fungsinya untuk  mencatat semua kegiatan yang dijalani selama kelas 6. Ya, karena di tahun inilah setiap santri terakhir mendapatkan wejangan dari Kyai dan Bagian Pengasuhan. Maka alangkah lebih baiknya dari setiap perkumpulan ini semuanya dicatat di diari yang ada.

Meskipun jika harus jujur, tidak cukup satu diari untuk menulis keseharian di Gontor. Seperti saya yang masuk Gontor melalui jalur intensiv (4 tahun) sudah menghabiskan banyak buku diari, yang isinya bermacam-macam. Mulai dari perasaan hati: sedih, senang, kangen, dll dan semua cita-cita yang jika dituliskan dan membacanya ulang Alhamdulillah ada beberapa yang sudah tercapai.

Hal itu tidaklah berlebihan, karena di Gontor kita tidak menjalani proses yang itu-itu saja. Setiap hari kita harus menjalani beberapa kali ganti baju; ke sekolah, asrama, masjid yang setiap tempat itu berbeda. Belum lagi jika sudah kelas 5 dan 6 ada wibawa (haibah) tersendiri saat mengenakan jas (sutroh) kan? Ya….meskipun kelas menengah ke bawah seperti saya pun juga merasakannya kok.

Kembali lagi ke pembahasan diari. Diari ini sangat penting, apalagi pada 3 waktu saat santri:

Masa Awal Masuk Pondok

Biasanya diari ini mayoritas isinya hal-hal yang menghibur diri. Aslinya gak betah, tapi mencoba menulis, hal-hal yang lebih enak. Misalnya saat tahun pertama di pondok, untuk menghibur diri saya membayangkan jika tahun depan sudah kelas 3 intensiv. Bayangkan saja jadi anak lama (kudama’) sepertinya lebih enak, minimal bisa tidur siang sedikit, agak santai, dll.

Saat Kelas 5

Kelas ini adalah fase krusial di pondok. permen nano-nano kalah lah dengan 1 tahun yang kami jalani saat kelas 5. Bagaimana tidak bayangkan kita harus tegar di depan anggota, meskipun baru saja mendapat wejangan dan sanksi dari bagian yang kebanyakan anggota kita yang melakukannya.

Ya, begitulah belajar tanggung jawab di Gontor. Anggota yang bersalah, bukan hanya anggota tersebut yang mendapatkan sanksi, tapi pengurusnya juga. Gentle kan? Mungkin hal ini sudah langka di tengah pendidikan bahkan dunia kerja di Indonesia, dimana banyak orang melakukan kesalahan pribadi pun ia tidak mau mengakuinya, tapi mencari kambing hitam. Di Gontor kambing hitam tidak ada, yang ada siapa yang punya anggota, harus pertanggung jawabkan apa yang dilakukan anggotanya.

Saat Kelas 6

Di tahun akhir belajar di pondok selain kita sering berkumpul untuk pertemuan yang diisi oleh Ustadz pembimbing, Bagian pengasuhan dan Pimpinan Pondok, saat menjelang Ramadhan ada studi banding yang dijadwalkan mengunjungi beberapa tempat yang menginspirasi dalam bidang pendidikan, bisnis, dll. Manfaatnya adalah memberikan wawasan pada santri apa yang bisa dilakukan setelah lulus dan berada di masyarakat nanti.

Sebaiknya untuk banyak mencatat saat itu. Saya pribadi ada cerita unik dengan studi banding ini. Saat itu rombongan kami studi banding ke Semarang. Pada kunjungan terakhir kami berkunjung ke salah seorang wali santri yang punya usaha kerajinan kain perca di Ungaran. 2 tahun berselang dari kelulusan saya, tahun 2006 (saya alumni 2004), saya mencoba menghubungi pemiliknya untuk membantu menjualkan produknya. Alhamdulillah hingga berjalan beberapa kali karena kepercayaan beliau kepada saya. Sebanyak-banyaknya produk dikirim kepada saya, saya yang hitung sendiri berapa jumlahnya, dan membayar setelah barangnya laku.

Alhamdulillah dari hasil penjualan produk ini bisa membantu biaya kuliah saya selama 4 semester. Saya sangat berterima kasih kepada beliau, karena melalui jalan itulah saya bisa praktek langsung menjajakan produknya di kota kelahiran saya hingga akhirnya saya lulus kuliah.

Itu sekilas pengalaman saya tentang pentingnya diari di Gontor. Bagaimana cerita antum yang lain?