Daya Tarik Gontor. Ini yang Pertama dan Paling Saya Ingat

1 min read

Daya Tarik Gontor

AnakIslam.com – Daya Tarik Gontor. Memilih satu dari dua pilihan yang sama-sama menarik bukan hal yang mudah. Setidaknya ini pernah saya alami saat sudah menjadi Capel di Gontor 2, tahun 2000. Saat itu saya sudah menjadi Capel. Saya ingat sekali untuk biaya masuk saat itu sekitar 700 ribu rupiah. Jumlah uang yang tidak sedikit bagi keluarga kami yang hanya menggantungkan penghasilan dari toko kelontong Bapak yang kian hari kian sepi pembeli.

Tapi Bapak tak bergeming. Ia bahkan sangat antusias aku mondok di Gontor. Tentu hal ini tidak akan saya sia-siakan. Saya berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh di pondok yang terletak di Madusari, Siman, ini.

Tapi bukan hidup namanya jika tidak ada ujiannya. Saat saya sudah memasang niat yang kuat, ujian untuk terus mondok datang lagi. Kali ini bukan masalah betah atau tidak, tapi lebih ke komitmen. Saat itu ada telpon dari Ibu dari rumah. Di ujung telpon, beliau mengatakan,

“Le, ini ada surat tawaran beasiswa. Kamu ternyata masuk PMDK. Dua tempat Unesa dan Unpad.”

Saya hanya terdiam, membayangkan jika saya tidak di pondok, maka saya bisa kuliah masuk ke Universitas pemberi beasiswa itu tanpa tes dan potongan biaya kuliah.

“Yo opo le, mau terus mondok apa ambil beasiswa ini ?”

Saat Ibu bertanya seperti itu, ingatan saya hanya tergambar bagaimana antusiasnya wajah kedua orang tua saat tahu saya akan mondok, terlebih saat beliau berdua mengantarkan saya ke Gontor.

“Gak sudah Bu. Saya terus mondok disini saja.”

“Oh ya sudah. Kamu belajar yang rajin ya, le.”

Itulah ujian yang paling berat bagi saya saat Capel. Dimana komitmen saya untuk terus mondok diuji dengan beasiswa yang mungkin bagi sebagian besar anak lulusan SMA itu adalah hal yang paling ditunggu-tunggu.

Mungkin jika ada orang yang mengatakan saya aneh, memang tidak bisa disalahkan. Karena betapa tidak, saat itu saya dengan jelas-jelas menolak peluang untuk kuliah, yang biasanya anak lulusan SMA lakukan, dengan mengulang lagi mondok, dengan jenjang yang sama dengan SMA.

Tapi memang ini yang saya inginkan dalam perjalanan hidup saya. Saya rela menggunakan 4 – 5 tahun dalam hidup saya untuk menjadikannya titik balik mendapatkan apa-apa yang saya belum dapatkan sebelumnya.

Menjalani kehidupan sebagai Capel di Gontor 2 membuat saya mulai banyak belajar tentang keaneka ragaman kebiasaan dari Capel lainnya yang datan bukan hanya dari penjuru tanah air, tapi dari belahan dunia.

Saya belajar bagaimana sebagai lembaga pendidikan yang besar Gontor ingin para santrinya kelak menjadi manusia-manusia yang universal, yang bisa menjadi dan menempatkan dirinya dengan baik. Caranya, sejak Capel sudah dibiasakan setiap santri untuk membaur dengan teman-temannya yang datang dari berbagai daerah. Jadi tidak ada asrama yang bersifat kedaerahan.

Jika pun kami bisa berkumpul dengan teman-teman yang datang dari daerah yang sama itu juga hanya sesekali saja. Bukan setiap hari, sehingga menjahkan kami dengan santri-santri lain yang berasal dari daerah berbeda. Kami juga diajarkan untuk menghilangkan perbedaan yang sudah ada dalam masyarakat, misalnya perbedaan mazhab, golongan, kesukuan, dsb. Ini adalah hal yang menarik bagi saya untuk bisa mempelajarinya.

Itulah sedikit pengalaman saya tentang Daya Tarik Gontor dalam membekali santrinya untuk terus berusaha berada diatas dan untuk semua golongan.