Apa Itu Mukhabarah ? Pengertian, Hukum, Rukun, dan Contohnya

2 min read

Apa Itu Mukhabarah

AnakIslam.com – Apa Itu Mukhabarah. Dalam dunia pertanian, berbagai bentuk kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap lahan seringkali menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas. Salah satu sistem yang dikenal dalam syariat Islam dan diterapkan sejak masa Rasulullah SAW yaitu Mukhabarah.

Sistem ini menyajikan kemudahan bagi petani yang tidak mempunyai lahan, akan tetapi ingin tetap berkontribusi dalam sektor pertanian. Di sisi lain, pemilik lahan juga mendapatkan manfaat dari hasil tanah yang dikelola dengan baik tanpa harus terlibat langsung dalam penggarapan lahan.

Lantas, apa itu Mukhabarah? Bagaimana hukumnya dalam Islam, dan apa saja rukun yang harus dipenuhi? Yuk kita pelajari lebih lanjut lagi dalam artikel ini.

Pengertian Mukhabarah

Mukhabarah adalah suatu bentuk kerja sama dalam bidang pertanian yang melibatkan pemilik tanah dan petani penggarap. Dalam Mukhabarah, pemilik lahan menyediakan tanah untuk ditanami, sementara petani bekerja menggarap lahan tersebut.

Sistem ini menjadi salah satu cara berbagi hasil panen antara pemilik tanah dan petani dengan kesepakatan pembagian yang jelas di awal, umumnya berdasarkan persentase tertentu dari hasil panen.

Bagi yang belum tahu, Mukhabarah sering digunakan di berbagai wilayah di seluruh penjuru dunia yang memiliki tradisi pertanian kuat. Contohnya seperti negara Indonesia, Tiongkok, India, Brazil, dan Amerika Serikat.

Sejak zaman Rasulullah SAW telah mengenal Mukhabarah bahkan beberapa sahabat beliau juga menerapkannya dalam aktivitas pertanian mereka. Konsep Mukhabarah punya tujuan untuk memberikan kesempatan bagi petani yang tak memiliki lahan sendiri agar tetap bisa bekerja dan memperoleh penghasilan lewat hasil pertanian.

Hukum Mukhabarah

Ternyata bagi yang belum tahu, hukum Mukhabarah dalam Islam itu berbeda-beda tergantung dari mazhab yang dianut. Nah, terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ulama mengenai keabsahan dan keutamaan Mukhabarah.

1. Menurut Jumhur Fuqaha

Mayoritas ulama (Jumhur) membolehkan Mukhabarah selama syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada unsur ketidakadilan dalam pembagian hasil. Mereka berpendapat bahwa Mukhabarah merupakan bentuk kerjasama yang sah berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Selama itu tidak melibatkan unsur riba, gharar (ketidakjelasan), atau penindasan.

2. Ulama Hanafiah

Menurut ulama Hanafiah, Mukhabarah hukumnya haram. Mereka berpendapat bahwa Mukhabarah  dapat menimbulkan ketidakadilan, terutama jika terjadi gagal panen. Selain itu, ketidakpastian dalam pembagian hasil dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Pandangan ini tentu saja berdasarkan pada kekhawatiran bahwa salah satu pihak tidak merugi, baik itu dari sisi pemilik lahan maupun petani penggarap lahan tersebut.

3. Ulama Malikiah

Terdapat pendapat lain yang dikemukakan oleh ulama Malikiah bahwa Mukhabarah adalah haram, terutama jika tidak ada pembagian hasil yang jelas. Mereka menekankan pentingnya kesepakatan yang sangat jelas sebelum lahan tersebut dikelola.

Kesepakatan awal memang harus transparan, termasuk rincian tentang siapa yang akan menanggung biaya produksi, bibit, dan alat-alat pertanian lainnya. Ketidakjelasan ini dianggap sebagai bentuk gharar yang bisa merugikan salah satu pihak.

4. Berdasarkan Pendapat Jumhur Ulama

Jumhur ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanbali justru memperbolehkan Mukhabarah dengan syarat ada pembagian yang jelas. Mereka berpendapat bahwa selama pembagian hasilnya adil, Mukhabarah dapat diterapkan sebagai sistem kerjasama yang sah menurut syariah.

Rukun Mukhabarah

Secara umum rukun merupakan elemen-elemen yang harus dipenuhi agar suatu akad sah menurut syariat Islam. Berikut ini kita berikan rukun-rukun Mukhabarah:

  1. Pihak-pihak yang berakad: Pemilik lahan dan petani penggarap.
  2. Obyek akad: Lahan yang akan dikelola dan jenis tanaman yang akan ditanam harus jelas dan disepakati oleh kedua belah pihak.
  3. Pembagian hasil panen: Harus ada kesepakatan yang jelas tentang bagaimana hasil panen akan dibagi antara pemilik lahan dan petani penggarap. Biasanya pembagian dilakukan berdasarkan persentase, misalnya 50:50, 60:40, atau sesuai kesepakatan awal.
  4. Jangka waktu pengelolaan: Mukhabarah mempunyai durasi tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, seperti satu musim tanam atau beberapa tahun.

Perbedaan Mukhabarah dan Muzaraah

Meski sekilas terlihat mirip, Mukhabarah berbeda dengan Muzaraah. Perbedaan utama terlihat antara kedua akad ini terletak pada kontribusi kedua belah pihak dalam proses pertanian:

1. Mukhabarah

Pemilik lahan menyediakan lahan dan biasanya juga bibit serta kebutuhan lainnya, sementara petani hanya menyediakan tenaga kerja. Pastinya hasil panen akan dibagi antara pemilik lahan dengan petani sesuai kesepakatan.

2. Muzaraah

Petani tidak hanya menyediakan tenaga kerja, tetapi juga bibit dan alat-alat pertanian. Dengan kata lain, petani akan menanggung seluruh biaya produksi. Hasil panen juga dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik tanah dan petani.

Contoh Mukhabarah di Indonesia

Di negara Indonesia, Mukhabarah sering kali dipraktikkan di daerah-daerah pedesaan, terutama di pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Salah satu contoh yang sering ditemukan ada di Jawa Barat, di mana pemilik lahan sawah bekerja sama dengan petani lokal untuk menanam padi.

Dalam kesepakatan tersebut, pemilik tanah biasanya menyediakan lahan dan bibit sementara itu petani memiliki tugas untuk mengelola dan menanam. Setelah panen, hasil padi akan dibagi rata antara pemilik lahan dan petani sesuai dengan persentase yang disepakati, misalnya 70% untuk pemilik lahan dan 30% untuk petani.

Contoh lain kami berikan untuk wilayah Sulawesi Selatan, di mana banyak petani kelapa sawit yang bekerja dengan sistem Mukhabarah. Pemilik perkebunan menyediakan lahan dan bibit, sementara itu petani bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pengelolaan perkebunan. Tentunya hasil panen sawit nanti dibagi berdasarkan kesepakatan antara kedua pihak.