Santri Lulusan Gontor. Kewajiban menuntut ilmu agama memang wajib bagi sebagian orang di setiap daerah. Karena dengan adanya satu atau beberapa orang yang tafaqquh fid diin, maka ada rujukan bagi masyarakat sekitar untuk bertanya tentang masalah agama yang memang mereka tidak memahaminya.
Karena semangat akan hal seperti inilah, maka hingga saat ini tetap banyak para santri yang memperdalam ilmu agamanya di pesantren. Mereka rela belajar di pondok, terpisah dengan orang tua demi mengharap keridhaan Allah melalui ilmu agama yang kelak mereka ajarkan di masyarakatnya.
Tapi memang menjadi santri ini bukanlah hal yang mudah. Ujiannya bukan hanya hidup mandiri terpisah jauh dari orang tua, tapi mereka di tempat menuntut ilmu juga harus belajar keras guna bisa mengikuti pelajaran di pondok yang mungkin banyak dari mereka sebelumnya belum pernah mempelajarinya sama sekali.
Misalnya saat saya mondok di PM Gontor Ponorogo, rentang waktu tahun 2000 – 2004, banyak pelajaran yang belum pernah saya pelajari sebelumnya di sekolah umum. Bahkan hingga di kelas akhir, kelas 6 KMI, seingat saya jumlah mata pelajaran sekitar 25-27 pelajaran. Dimana sebagian besar berbahasa Arab, sisanya sekitar 7-9 pelajaran berbahasa Indonesia dan Inggris.
Jadi kesimpulannya apa? Bahasa Arab adalah bahasa utama di Gontor. Dengan begitu jika ingin terus lancar naik kelas, memang yang harus lebih utama kita kuasai adalah Bahasa Arab. Tapi tentu ini tidak mengesampingkan dua bahasa pengantar lainnya, Bahasa Inggris dan Indonesia. Ya, di Gontor pelajaran dengan Bahasa Inggris pun lebih banyak dibanding yang berbahasa Indonesia.
Jadi porsi pelajaran yang diterima santri berdasarkan bahasa pengantarnya adalah; Arab, Inggris dan Indonesia.
Mengapa Gontor sangat menekankan bahasa dalam pengajarannya?
Karena beliau Para Pendiri Pondok Gontor memahami, dengan setiap santri menguasai bahasa, Arab dan Inggris, maka kelak mereka akan mudah mempelajari apapun dalam proses menuntut ilmu setelah lulus dari pondok. Karena itu tidak aneh jika banyak diantara alumni yang setelah lulus pondok melanjutkan studinya di negara timur tengah dan eropa. Tentunya dengan pertimbangan yang matang dari mereka masing-masing.
Bagi saya yang nyantri selama 4 tahun di Gontor, melihat santri yang tidak betah sudah biasa. Bahkan jika boleh ditanyakan kepada tiap santri, apakah mereka benar-benar betah tinggal di pondok? Maka mungkin jawabannya tidak.
Tapi mengapa mereka tetap bertahan? Nah, ini pertanyaan yang mestinya ditanyakan lebih lanjut. Ternyata yang membuat mereka bertahan di pondok adalah niat mereka yang kuat. Mereka punya azam dalam dirinya, bahwa jika mereka sudah lulus kelak mereka akan mempunyai sesuatu yang bisa dipersembahkan untuk masyarakatnya.
Apakah itu? metode dakwah. Ya, setiap alumni Gontor punya cara berbeda untuk berdakwah di masyarakat. Dan ini yang paling saya sukai dari mindset Gontor. Kami dibebaskan untuk berdakwah ke masyarakat melalui media apa saja.
Seperti saya misalnya, yang seorang penulis, saya akan lebih mudah untuk berdakwah melalui tulisan seperti ini. Dibanding saya harus berceramah di depan jamaah di sebuah majlis taklim. Apa tidak bisa? Bisa. Tapi hasilnya tidak semaksimal jika saya menulis untuk artikel atau buku dalam berbagai platform.
Jadi bagi adik-adik yang sedang menuntut ilmu atau baru lulus dari PM Gontor, jangan berkecil hati. Apa saja yang kalian suka bahkan menjadi passion kalian semua bisa menjadi jalan dakwah. Silahkan maksimalkan di bidang itu, dan jadikan bidang itu sebagai ladang amal, selain juga untuk ladang penghasilan di dunia.
Mondok di Gontor atau mungkin di Pondok Pesantren lainnya itu syarat utamanya satu, betah. Maksudnya kalau tidak betah, ya dibetah-betahin. Seperti pesan salahsatu Pimpinan Pondok kita dulu,
“Jika tidah betah mondok tahan (teruskan) setahun, jika tidak tahan lagi tahan setahun lagi, tidak betah juga tahan setahun lagi… begitu seterusnya hingga akhirnya lulus.”
Selama 4 tahun saya mondok memang yang bertahan hingga lulus adalah mereka yang “easy going,” atau bisa dikatakan gak baperan. Mereka yang sadar bahwa apa yang ada di Pondok semuanya adalah pendidikan. Bahkan saat menerima ikob pun sadar itu adalah pendidikan. Karena ikob hanya akan diberikan khusus kepada mereka yang gholat.
Jadi yang menjamin santri lulus sekali lagi bukan karena mereka pintar, cerdas atau bahkan keturunan dari orang tua yang ahli agama. Karena kelulusan setiap santri murni karena hasil belajarnya masing-masing.
Mereka yang bertahan hingga lulus adalah mereka yang sadar bahwa apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan semuanya adalah pendidikan. Duh…bergetar nih dada saya menulis yang seperti ini. Ingat saat beliau, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, (Semoga beliau diberi kesembuhan dan sehat kembali seperti sedia kala. Amiin Ya Rabbal Alamiin….), dulu saat beliau menyampaikan tausiyah, saat sampai kalimat tersebut, dilanjutkan dengan takbir,
“Allahu Akbar…..Allahu Akbar…Allahu Akbar.” Yang selanjutnya diikuti dengan semangat oleh semua santri yang berada di dalam dan luar ko’ah.
Tentunya semua itu membuat kita yang awalnya ngantuk jadi semangat lagi. Yang awalnya galau karena natijah awal sanah gak sampai 5, 5 pun optimis bisa naik kelas lagi.
Ingin betah di pondok?
Caranya hanya kita sendiri yang tahu. Setiap orang punya cara berbeda. Saya pribadi yang saat di pondok jadi kutu buku, untuk menyalurkan itu caranya dengan membeli banyak buku dan membacanya. Pernah saya saat kelas 3 intensiv (tahun 2002) membeli buku hingga menghabiskan uang puluhan ribu. Itu buku bacaan, bukan buku pelajaran. Dan saya membeli buku di event bazar Koperasi, dimana buku-buku yang tidak laku dijual dengan harga jauh dibawah harga aslinya. Dengan sejumlah tersebut saya mendapatkan lebih dari 20 an buku. Lumayan lah buku sejumlah itu untuk dibaca selama 1 tahun di pondok kan?
Jadi, selama di pondok Alhamdulillah saya pernah merasakan jika gizi untuk otak ini lebih penting dibanding gizi untuk perut. Karena saya saat itu bisa rela menghabiskan waktu untuk banyak membaca buku dan menuliskannya di buku diary saya. Meski harus diakui saat sudah lulus seperti saat ini, hal itu memang sulit untuk dilakukan.
Itu cara saya, cara antum bagaimana?
Tulis di komentar ya. Supaya kita bisa nostalgia selama di pondok. Bagi antum yang mondok di Pesantren lain juga yuk silahkan komentar supaya kita bisa berbagi pengalaman saat kita nyantri yang tentunya saat-saat itu indah di kenang meskipun kadang penuh dengan keprihatinan saat wesel telat datang.
Baca artikel bermanfaat lainnya di AnakIslam.com